Ikhwati fillah, dalam tulisan lalu saya sempat berbicara tentang kedudukan sunnah menurut sunnah itu sendiri, kemudian saya ikuti dengan contoh sikap para salaf terhadap sunnah Nabi. Nah kali ini, saya akan sebutkan contoh-contoh lainnya yang tak kalah menarik dan penting.
Kita semua tahu bahwa para sahabat adalah generasi yang paling taat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga sangat antusias dalam mengikuti sunnah Rasulullah hingga sering kali mereka melakukan apa yang beliau lakukan atau meninggalkan apa yang beliau tinggalkan tanpa tanya terlebih dahulu apa alasannya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar t bahwa Rasulullah suatu ketika mengenakan cincin dari emas, maka para sahabat serta-merta mengenakan cincin emas pula. Kemudian beliau mencampakkannya seraya berkata: “Aku takkan memakainya selamanya”, maka para sahabat pun mencampakkan cincin mereka.[1]
Dalam Sunannya, Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, katanya:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللهِ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ القَوْمُ أَلْقَوا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلاَتَهُ قَالَ: مَا حَمَلَكُمْ عَلىَ إِلْقَائِكُمْ نِعَالَكُمْ؟ قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَناَ! فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: إِنَّ جِبْرِيْلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيْهِمَا قَذَرًا. وَقَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى المَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيْهِمَا.
Ketika Rasulullah sedang shalat dengan para sahabatnya, tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat menyaksikan hal tersebut, mereka pun segera menanggalkan kedua sandal mereka. Usai shalat Nabi bertanya: “Apa yang mendorong kalian menanggalkan sandal kalian?” mereka menjawab: “Kami lihat engkau menanggalkan kedua sandalmu, maka kami juga menanggalkan sandal kami!” Maka Nabi SAW bersabda: “Barusan Jibril memberitahuku bahwa pada keduannya ada kotoran”. Beliau juga bersabda: “Bila seseorang diantara kalian datang ke mesjid, hendaklah ia periksa; jika ia lihat ada kotoran di sandalnya maka gosoklah terlebih dahulu baru dipakai shalat”.[2]
Bahkan lebih dari itu, mereka sampai bergiliran mengunjungi Nabi SAW setiap hari untuk mempelajari sunnah beliau. Sebagaimana yang diceritakan oleh Umar bin Khatthab dalam hadits riwayat Bukhari berikut:
كُنْتُ أَناَ وَجَارٌ لِي مِنَ الأَنْصَارِ فِي بَنيِ أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَاليِ المَدِيْنَةِ وَكُناَّ نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلىَ رَسُولِ اللهِ يَنْزِلُ يَوْماً وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنَ الوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.
Dahulu, aku tinggal dengan tetanggaku di bagian atas kota Madinah. Ia berasal dari Bani Umayyah bin Zaid dan kami bergiliran untuk turun mengunjungi Rasulullah SAW Aku mengunjungi beliau seharian, lalu tetanggaku mengunjunginya di hari berikutnya. Sepulang mengunjungi beliau, kuceritakan kabar hari itu kepada tetanggaku, dan sepulang ia mengunjungi beliau, ia melakukan hal yang sama.[3]
Hal yang serupa juga dilakukan oleh kabilah-kabilah Arab yang senantiasa mengutus delegasi mereka ke Madinah untuk mempelajari Islam dari Rasulullah SAW lalu kembali ke daerah asal mereka sebagai juru dakwah dan mu’allim. Bahkan sebagian sahabat rela menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menanyai Rasulullah tentang suatu masalah atau hukum syar’i, lalu kembali tanpa ada kepentingan lainnya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Uqbah bin Harits bahwa seorang wanita mengabarkan kepadanya kalau ia pernah menyusuinya dan menyusui isterinya. Maka Uqbah yang ketika itu berada di Mekkah, langsung menunggangi kudanya menuju Madinah hingga sampai ke Rasulullah SAW. Ia pun menanyai hukum orang yang menikahi seorang wanita, namun ia tidak tahu bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sepersusuan. Kemudian ia diberitahu akan hal itu oleh orang yang menyusui mereka berdua. Maka Nabi pun bersabda:
كَيْفَ وَقَدْ قِيْلَ؟
Bagaimana lagi kalau memang dibilang seperti itu?[4] Artinya ia harus menceraikan isterinya.
Selain itu, para sahabat juga sering bertanya kepada isteri-isteri Nabi berkenaan dengan hubungan antara suami isteri, karena isteri-isteri Nabilah yang mengetahui hal itu. Demikian pula para wanita; mereka mendatangi isteri-isteri Nabi untuk bertanya tentang urusan agama. Bahkan kadang mereka bertanya langsung kepada Rasulullah sesuka mereka tentang masalah agama. Hingga jika beliau tidak mungkin menjelaskannya secara langsung kepada si penanya, beliau menyuruh salah seorang isterinya untuk menjelaskan hal tersebut.
Demikianlah perhatian para sahabat terhadap Sunnah Rasulullah yang mulia semasa hidup beliau. Mereka demikian meneladani beliau secara sempurna, dan menepati batas-batas yang telah beliau gariskan dalam perintah maupun larangan beliau. Mereka pasrah sepenuhnya terhadap keputusan beliau dan demikian semangat untuk mempelajari sunnah beliau.
Adapun sepeninggal beliau, disamping melakukan hal-hal yang kita sebutkan tadi, mereka juga menempuh berbagai cara dalam memelihara sunnah Nabi. Diantaranya ialah dengan menghafal hadits Nabi dan mengkonfirmasikan kebenaran hadits tersebut. Bahkan ada diantara mereka yang menempuh ratusan kilometer demi mengkonfirmasikan satu hadits yang pernah dihafalnya. Mereka juga memelihara hadits-hadits tersebut dengan menulisnya dalam lembaran-lembaran kulit, lalu membacakannya kepada orang-orang, dan masih ada cara-cara lain yang mereka gunakan.
Kesemuanya itu mereka lakukan sesuai dengan metode ilmiah yang memiliki karakter umum sebagai berikut:
Pertama: kesadaran para sahabat akan besarnya tanggung jawab mereka untuk menjaga agama, baik Al Qur’an maupun Sunnah. Lalu menyampaikannya kepada kaum muslimin dalam rangka melaksanakan amanat yang diemban oleh mereka, sebagaimana yang diemban oleh para Nabi. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ.
Sampaikanlah dariku walau hanya seayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil.[5]
Dan merekalah sebaik-baik generasi yang melaksanakan amanat tersebut setelah para Nabi.
Kedua: mereka senantiasa ingat akan sabda Nabi yang mengatakan:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa yang sengaja berdusta atasku, maka silakan memesan tempat duduknya di Neraka (HR. Bukhari no 107).
Karenanya, mereka sangat hati-hati dalam menyampaikan Sunnah kepada kaum muslimin. Mereka tidak sembarangan menisbatkan suatu hadits kepada Nabi SAW sebelum benar-benar yakin bahwa Rasulullah memang pernah mengatakannya. Mereka juga tidak mudah menerima suatu hadits kalau mereka ragu akan keabsahannya. Anas bin Malik mengatakan:
لَوْلاَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ أُخْطِئَ لحََََدَّثْتُكُمْ بِأَشْياَءَ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَهَا رَسُول اللهِ وَذاَكَ أَنِّي سَمِعْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Kalaulah bukan karena takut keliru, niscaya akan kusampaikan banyak hal yang kudengar dari Rasulullah atau yang beliau katakan, akan tetapi aku mendengar bahwa beliau mengatakan: “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka silakan ia pesan tempat duduk di Neraka”.[6]
Ibnu Sirin dan Asy Sya’bi mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud ra konon bila bercerita tentang Rasulullah, air mukanya berubah seraya mengatakan: “Demikianlah… atau kurang lebih demikian”.[7]
Bahkan ada diantara para sahabat yang setahun penuh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Asy Sya’bi mengatakan:
جَالَسْتُ ابْنَ عُمَرَ سَنَةً فَلَمْ أَسْمَعْهُ يَذْكُرُ حَدِيثاً عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Aku pernah bermajlis setahun penuh dengan Ibnu Umar, namun tak pernah kudengar ia meriwayatkan satu hadits pun dari Rasulullah (HR. Ibnu Majah dan Darimi).
Salah seorang tabi’ien terkenal Abdurrahman bin Abi Laila meriwayatkan:
لَقَدْ أَدْرَكْتُ فِي هَذَا المَسْجِدِ عِشْرِيْنَ وَمِائَةً مِنَ الأَنْصَارِ وَمَا مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ يُحَدِّثُ بِحَدِيثٍ إِلاَّ وَدَّ أَنَّ أَخَاهُ كَفَاهُ الحَدِيْثَ وَلاَ يَسْأَلُ عَنْ فُتْيَا إِلاَّ وَدَّ أَنَّ أَخَاهُ كَفَاهُ الفُتْيَا
Aku telah bertemu dengan 120 orang Anshar di mesjid ini, tak ada seorang pun dari mereka yang menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah melainkan berharap bahwa hadits itu disampaikan oleh saudara mereka saja. Mereka juga tidak pernah dimintai fatwa melainkan berharap bahwa yang menjawabnya adalah orang lain saja (HR. Darimi 1/65 dengan sanad shahih).
Ikhwati fillah yang dimuliakan Allah, demikianlah gambaran singkat sikap para sahabat dalam memelihara dan mengajarkan Sunnah Rasulullah. Inilah yang mesti kita teladani: semangat dalam mengajarkan Sunnah namun dengan menjaga validitas dan keabsahannya, bukan dengan mencampuradukkan antara yang shahih, dha’if bahkan palsu, lalu menisbatkan seluruhnya kepada Rasulullah SAW, seperti yang sering kita jumpai pada kebanyakan da’i dan muballigh akhir-akhir ini.
Wallaahu ta’ala a’lam…
Maraji`:
(Shahih Bukhari, Fathul Baari, Sunan Abu Dawud, Sunan Ad Darimi, Tadwienus Sunnah).
[1] Fathul Baari (10/318).
[2] Sunan Abu Dawud no 650 dan dishahihkan oleh Al Albani.
[3] HR. Bukhari no 89.
[4] Fathul Bari (1/184).
[5] HR. Bukhari no 3461.
[6] HR. Darimi (1/67) dengan sanad Shahih.
[7] HR. Darimi (1/72).
Artikel asli: https://basweidan.com/kedudukan-sunnah-menurut-salafus-shalih/